INDONESIA MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) 2015
BAB I
A.
LATAR BELAKANG
Pengertian dan
karakteristik Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).Mea adalah bentuk integrasi
ekonomi ASEAN dalam artian adanya sistem perdagangan bebas antara negara-negara
ASEAN.Indonesia dan sembilan negara anggota ASEAN lainnya telah menyepakati
perjajian Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau Asean Economic Communiti (AEC).
KTT
Asean yang digelar di Jakarta 6 Mei 2011 lalu membahas berbagai masalah penting
di kawasan ASEAN. Salah satu isu penting yang dibahas tentu saja adalah
persiapan pemberlakuan Pasar Tunggal Asean pada 2015 yang menjadikan kawasan
ini sebagai basis produksi dan pasar tunggal. Indonesia pasti sudah
memersiapkan diri untuk menyongsong era “Masyarakat Ekonomi Asean” (MEA)
tersebut serta merancang skema yang dianggap paling menguntungkan bagi
perekonomian nasional. Namun, dengan melihat pengalaman ACFTA dan situasi
perekonomian terakhir, rasanya Indonesia perlu hati-hati untuk
melangkah mengingat konsekuensi dari pemberlakuan Pasar
Tunggal Asean ini tidaklah ringan. Secara teoritis, Indonesia mempunyai peluang
yang baik dengan adanya kesepakatan ini, tapi dengan melihat
persoalan-persoalan ekonomi yang muncul bisa jadi peluang itu menguap begitu
saja.
Para
pengamat banyak ragam pandangan, khususnya mengenai terbentuknya Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA). Pandangan tersebut secara umum terbelah menjadi dua kutub,
yakni pihak yang optimis dan pesimis. Pihak yang optimis melihat Indonesia akan
mendapatkan benefit yang besar dengan terjadinya basis produksi dan pasar
tunggal Asean, utamanya jika melihat potensi sumber ekonomi dan jumlah
penduduk. Sebaliknya, pihak yang pesimis yakin Indonesia akan makin tenggelam
perekonomiannya karena direndam oleh banjir produk-produk negara tetangga. Hal
ini bisa terjadi karena ketidaksiapan ekonomi domestik dalam menghadang serbuan
ekonomi luar negeri, di samping kealpaan membangun ekonomi nasional secara
sungguh-sungguh. Masing-masing pihak itu barangkali punya kontribusi kebenaran
dalam menganalis persoalan ini, sehingga mengenali kedua sudt pandang tersebut
menjadi sangat penting.
BAB
II
RUMUSAN
MASALAH
B.IDENTIFIKASI MASALAH
1.Bagaimana persiapan Indonesia untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) 2015 ???
2.Apakah Indonesia di untungkan atau di rugikan dengan adanya Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 ???
3.Bagaimana kesiapan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 ???
4.Apa pengertian dan karakteristik Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015
???
5.Menghitung posisisi Indonesia di pentas ASEAN ???
BAB
III
PEMBAHASAN
Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) adalah realisasi tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang dianut
dalam Visi 2020, yang didasarkan pada konvergensi kepentingan negara-negara
anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi melalui
inisiatif yang ada dan baru dengan batas waktu yang jelas. dalam mendirikan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ASEAN harus bertindak sesuai dengan
prinsip-prinsip terbuka, berorientasi ke luar, inklusif, dan berorientasi pasar
ekonomi yang konsisten dengan aturan multilateral serta kepatuhan terhadap
sistem untuk kepatuhan dan pelaksanaan komitmen ekonomi yang efektif berbasis
aturan.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan membentuk ASEAN sebagai pasar dan basis
produksi tunggal membuat ASEAN lebih dinamis dan kompetitif dengan mekanisme
dan langkah-langkah untuk memperkuat pelaksanaan baru yang ada inisiatif
ekonomi; mempercepat integrasi regional di sektor-sektor prioritas;
memfasilitasi pergerakan bisnis, tenaga kerja terampil dan bakat; dan
memperkuat kelembagaan mekanisme ASEAN. Sebagai langkah awal
untuk mewujudkan Masyarakat Ekonomi
ASEAN,
Pada saat yang sama, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan mengatasi kesenjangan
pembangunan dan mempercepat integrasi terhadap Negara Kamboja, Laos, Myanmar
dan VietNam melalui Initiative for ASEAN Integration dan inisiatif regional
lainnya.
Bentuk Kerjasamanya adalah :
- Pengembangan sumber daya
manusia dan peningkatan kapasitas;
- Pengakuan kualifikasi
profesional;
- Konsultasi lebih dekat pada
kebijakan makro ekonomi dan keuangan;
- Langkah-langkah pembiayaan
perdagangan;
- Meningkatkan infrastruktur
- Pengembangan transaksi
elektronik melalui e-ASEAN;
- Mengintegrasikan industri di
seluruh wilayah untuk mempromosikan sumber daerah;
- Meningkatkan keterlibatan
sektor swasta untuk membangun Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Pentingnya
perdagangan eksternal terhadap ASEAN dan kebutuhan untuk Komunitas ASEAN secara
keseluruhan untuk tetap melihat ke depan,
karakteristik utama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA):
- Pasar dan
basis produksi tunggal,
- Kawasan ekonomi yang kompetitif, Selain
memperkuat ekonomi domestik
- Wilayah pembangunan ekonomi yang merata
- Daerah terintegrasi penuh dalam ekonomi global.
Karakteristik ini
saling berkaitan kuat. Dengan Memasukkan unsur-unsur yang dibutuhkan dari
masing-masing karakteristik dan harus memastikan konsistensi dan keterpaduan
dari unsur-unsur serta pelaksanaannya yang tepat dan saling mengkoordinasi di
antara para pemangku kepentingan yang relevan.
Saat
ini upaya untuk mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015--yang
memungkinkan arus barang, modal dan jasa antara negara ASEAN tidak ada lagi
hambatan--tetap pada jalurnya, namun memang masih menghadapi permasalahan dalam
bidang jasa.
Jika berbicara soal kompetisi perekonomian yang makin terbuka saat ini,
sekurangnya terdapat dua level masalah yang harus dilihat, yakni situasi
ekonomi domestik dan peluang yang bisa direbut. Dalam beberapa aspek, harus
diakui perekonomian nasional telah mencapai hal-hal positif dalam beberapa tahun
terakhir, seperti stabilitas makroekonomi, ekspor yang makin maju, dan sektor
keuangan yang kian mapan. Namun, di balik itu terdapat soal-soal serius yang
belum juga mengalami perbaikan berarti.
Pertama,
perekonomian nasional makin menjauh dari sendi-sendi kegiatan produktif yang
menjadi nafas hidup sebagian besar masyarakat. Peranan dan pertumbuhan sektor
pertanian dan industri menuju lereng negatif dalam beberapa tahun terakhir,
sehingga pondasi ekonomi nasional menjadi keropos. Dukungan sektor keuangan
(bank) terhadap kedua sektor tersebut juga makin melorot. Bayangkan saja,
pada 2000 sektor tradeable (pertanian, industri, pertambangan) masih menyerap
47,96% dari total kredit, tapi pada 2010 menjadi tinggal 24,22% (Indef, 2011).
Kedua,
iklim investasi di Indonesia juga stagnan, apalagi bila dibandingkan dengan
negara-negara sekawasan. Dalam beberapa aspek memang terdapat perbaikan iklim
investasi di Indonesia, seperti ditunjukkan biaya perizinan yang makin murah,
jumlah prosedur yang terus berkurang, dan waktu pengurusan yang kian cepat.
Namun, percepatan perbaikan itu kalah langkah ketimbang negara-negara tetangga
sehingga tetap saja membuat iklim investasi dan daya saing tertinggal di bagian
bawah. Misalnya saja, biaya memulai bisnis di Indonesia masih sebesar 26% dari
pendapatan per kapita, sedangkan di Singapura dan Malaysia masing-masing 0,7%
dan 11,9%. Hal yang sama juga dalam hal lama pengurusan izin usaha, di mana
Indonesia hanya lebih bagus dari Filipina dan Laos pada level Asean (Bank Dunia,
2010). Jika soal-soal ini tidak segera ditangani secara sigap dan cepat, sulit
bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara Asean di masa depan.
Ketiga,
masih berkaitan dengan iklim investasi dan daya saing ekonomi adalah
ketersediaan infrastruktur. Serangkaian upaya sudah dilakukan pemerintah untuk
memercepat pembangunan infrastruktur ini (jalan, pelabuhan, listrik, irigasi,
jembatan, air minum, rel kereta api, bandara, dan lain-lain), misalnya
mengadakan infrastructure summit, namun hasilnya sangat tidak memadai. Di luar
masalah pendanaan yang kerap disebut sebagai soal utama, sebetulnya aspek yang
jauh lebih jelas adalah ketidaksiapan pemerintah sendiri untuk menindaklanjuti
persetujuan investasi infrastruktur. Hasilnya, ketersediaan infrastruktur di
Indonesia jauh tertinggal daripada negara-negara sekawasan. Pada 2009, sekitar
101,2 juta penduduk di Indonesia hidup tanpa akses listrik. Sementara itu,
jalan aspal di Indonesia baru 58%, lebih rendah dari Brunei dan Filipina
sekalipun (masing-masing 78% dan 81%) [Indef, 2011]. Tentu banyak soal lain
yang mesti diselesaikan, tapi tiga hal ini adalah yang paling pokok.
Meskipun
kondisi perekonomian bisa dikatakan compang-camping, tapi sejauh ini Indonesia
masih memetik perdagangan dengan negara-negara Asean. Pada 2010 neraca
perdagangan Indonesia ke Asean surplus US$ 3,6 miliar, dengan rincian ekspor
sebesar US$ 25,6 miliar dan impor US$ 22,0 miliar (BPS, 2011). Kinerja
perdagangan ini sendiri terus menunjukkan tren yang membaik dari tahun ke tahun
mengingat pada 2005 dan 2006 Indonesia masih mencatat perdagangan defisit ke
Asean. Pada 2007 dan 2008 perdagangan surplus, tapi masih di bawah US$ 900
juta. Baru pada 2009 dan 2010 perdagangan meraih hasil meyakinkan (2009 sebesar
US$ 2,9 miliar). Angka-angka ini secara tersirat menunjukkan kompetisi yang
relatif bagus dari Indonesia berhadapan dengan negara kasawan Asean. Namun,
tentu ada beberapa syarat lagi yang perlu dipenuhi oleh Indonesia.
Pertama,
sampai saat ini tidak ada keterpaduan antara pengembangan sektor keuangan
(khususnya perbankan) dengan sektor riil. Sektor perbankan memang berkembang
cukup bagus, yang ditunjukkan dengan beberapa indikator kunci, seperti LDR,
CAR, NPL. ROA, dan lain sebagainya. Namun, jika diperhatikan secara saksama
terdapat masalah serius yang perlu segera dibenahi: (i) masih tingginya net
interest margin yang diambil oleh perbankan sehingga membuat ongkos investasi
sangat mahal. Di kawasan Asia, barangkali saat ini hanya Indonesia dan India
yang tingkat suku bunga kredit masih di atas 10%; (ii) alokasi kredit sektor
perbankan yang makin tidak berpihak kepada sektor riil (industri dan
pertanian). Pemerintah dan Bank Indonesia perlu turun tangan secara
sungguh-sungguh untuk mendesain insentif yang memungkinkan kedua sektor tersebut
disantuni kembali oleh perbankan.
Kedua,
terlalu banyak program dan target jangka pendek yang disusun pemerintah
sehingga kita kehilangan perspektif jangka panjang. Pasar tunggal Asean, blok
perdagangan AFTA, dan lain sebagainya tidak bisa disikapi sebagai tantangan
ataupun peluang jangka pendek, tapi ia mesti dilihat sebagai fenomena jangka
panjang. Dengan begitu, rumusan-rumusan program dan target yang dibuat juga
mesti memiliki dimensi jangka panjang tersebut. Pada titik ini kita mengalami masalah
yang serius karena nyaris tidak ada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah
untuk merancang format ekonomi di masa depan, misalnya sektor induk
perekonomian, bagaimana pohon industri yang hendak dikembangkan, dan sumber
daya (manusia, teknologi, ekonomi) yang harus dipersiapkan. Hal yang berbeda
justru sudah dimiliki oleh negara tetangga, seperti Malaysia, sehingga dengan
langkah pasti mereka siap memasuki pasar tunggal Asean. Aneka tantangan berat
inilah yang harus dijawab pemerintah jika Indonesia ingin berada di podium
utama pentas Asean.
Memerkuat Ekonomi Domestik
Sekurangnya
terdapat tiga masalah serius yang menjadi mimpi buruk perekonomian nasional
pada saat ini.
Pertama,
lokomotif perekonomian nasional yang semula bertumpu kepada sektor industri
(manufaktur) dalam lima tahun terakhir justru menunjukkan kinerja yang makin
menurun, baik dilihat dari tren pertumbuhan maupun kontribusinya terhadap PDB.
Pada 2005 kontribusi sektor industri terhadap PDB masih di kisaran 28%, namun
pada 2010 lalu melorot menjadi 24%. Subsektor industri, seperti tekstil, alas
kaki, kulit, elektronika, kayu olahan, dan lain-lain mulai menurun
pertumbuhannya dan tentu saja penetrasi ekspornya juga melemah. Gejala
deindustrialisasi ini bermasalah tidak hanya dari aspek domestik (penurunan
kesempatan kerja), tapi juga kesempatan untuk bersaing di pasar global. Jika
problem ini tidak dapat diatasi dalam waktu singkat, maka Indonesia akan
kehilangan peluru di pasar global.
Kedua,
konektivitas dan daya dukung ekonomi domestik masih rawan akibat tidak ada
kebijakan yang terpadu untuk menciptakan daya saing ekonomi. Pasar ekonomi
domestik masih terpecah-pecah (fragmented), yang sebagian disebabkan oleh
ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai. Pergerakan barang/jasa
antardaerah tidak bisa mulus karena prasarana jalan dan pelabuhan yang tidak
mendukung. Realitas ini tidak hanya mengganggu proses produksi, tetapi yang
lebih penting juga menyebabkan masalah distribusi. Ditambah dengan persoalan
kelangkaan listrik, energi yang kian mahal, pungutan liar, dan aneka masalah
lain menyebabkan ekonomi nasional dijangkiti penyakit ekonomi biaya tinggi.
Seluruh kondisi itu pasti akan memberatkan produk/jasa Indonesia bersaing di
pasar internasional, khususnya di Asean, jika nantinya pasar tunggal itu
benar-benar direalisasikan pada 2015.
Ketiga,
iklim investasi di Indonesia tidak kunjung membaik karena aspek-aspek penunjang
terpenting dari iklim investasi tersebut, yakni pemerintahan yang bersih dan
efisien, kepastian hukum, infrastruktur yang bagus, perizinan yang sederhana
dan murah, pembebasan lahan yang cepat dan pasti, dan jaminan hak kepemilikan
belum mengalami perbaikan yang berarti. Jaminan hak kepemilikan di Indonesia
masih yang terburuk di Asia, perizinan masih mahal dan lama (di Asean hanya
lebih bagus ketimbang Laos dan Filipina), korupsi terburuk di Asean, dan
pembebasan lahan menjadi ganjalan serius bagi investor untuk menanamkan
modalnya. Serangkaian masalah iklim investasi itu menyebabkan potensi
ekonomi Indonesia yang luar biasa besar menjadi hilang begitu saja karena
tertekan dengan soal-soal tersebut. Pemerintah memang sudah berjuang untuk
mengatasinya, tapi hasilnya masih minim sampai hari ini.
Agenda
lebih rinci yang mesti dijabarkan adalah menjadikan kawasan basis produksi dan
pasar tunggal. Indonesia harus betul-betul selektif untuk menempatkan
sektor-sektor ekonomi strategis dan potensial yang selama ini menjadi unggulan
domestik sebagai basis produksi. Sampai kini Indonesia masih menjadi
koordinator untuk sektor otomotif dan agrobisnis sebagai pilar basis produksi.
Sektor agrobisnis merupakan harga mati yang harus dipertahankan pemerintah
karena keunggulan Indonesia nyaris mutlak. Hanya pemerintah masih lemah dalam
mengaitkan antara sektor hulu dan hilir terbukti dengan minimnya sektor
manufaktur yang mengolah aneka produk dari sektor pertanian (dalam arti luas).
Sampai saat ini sebagian besar komoditas sektor pertanian masih diekspor dalam
bentuk mentah sehingga tidak menimbulkan nilai tambah, seperti kelapa sawit,
produk ikan, buah-buahan, dan lain-lain.
Berikutnya,
lima pilar yang akan dijalankan oleh MEA adalah aliran bebas barang, jasa,
investasi, tenaga kerja (TK) terampil, dan modal. Dari kelima pilar tersebut
titik kritis yang harus dicermati adalah aliran bebas jasa, TK terampil, dan
modal. Sektor jasa merupakan kartu mati bagi Indonesia selama ini karena
menyumbang defisit yang cukup besar dalam neraca pembayaran nasional, demikian
pula aliran modal yang kerap menjadi masalah. Sementara itu, TK terampil juga
harus dicamkan secara saksama karena struktur TK Indonesia dipenuhi tenaga
kerja yang tidak terampil, di mana sekitar 70% TK memiliki kualifikasi cuma
tamat SMP ke bawah. Jika tidak dikenali secara lebih detail pada aspek-aspek
tersebur, bisa jadi hal ini akan menjadi lubang yang menggerogoti perekonomian
nasional. Pemerintah masih punya waktu (meski pendek) untuk berhitung secara
cermat dalam menyikapi MEA ini agar tidak menjadi sumber malapetaka
perekonomian di masa depan. Selain
memperkuat ekonomi domestik untuk menghadapi era pasar bebas se ASIA Tenggara
itu,Indonesia juga harus mengambil langkah_langkah
strategis agar dapat menghadapi persaingan dengan negara ASEAN lainnya,tak
terkecuali sektor koperasi dan usaha kecil menengah.
Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan
mengatakan bahwa persiapan Koperasi dan UKM nasional untuk menghadapi era MEA
sudah cukup baik.
"Sejauh ini persiapan Koperasi dan UKM kita untuk menghadapi era MEA 2015
ini cukup bagus. Persiapan sampai saat ini untuk menghadapi MEA itu kurang
lebih 60 sampai 70 persen," kata Syarief Hasan.
Sebagai persiapan, menurut dia, pemerintah telah melaksanakan beberapa upaya
strategis, salah satunya pembentukan Komite Nasional Persiapan MEA 2015, yang
berfungsi merumuskan langkah antisipasi serta melakukan sosialisasi kepada
masyarakat dan KUKM mengenai pemberlakuan MEA pada akhir 2015.
Adapun langkah-langkah antisipasi yang telah disusun Kementerian Koperasi dan
UKM untuk membantu pelaku KUKM menyongsong era pasar bebas ASEAN itu, antara
lain peningkatan wawasan pelaku KUKM terhadap MEA, peningkatan efisiensi
produksi dan manajemen usaha, peningkatan daya serap pasar produk KUKM lokal,
penciptaan iklim usaha yang kondusif.
Namun, Syarif menyebutkan salah satu faktor hambatan utama bagi sektor Koperasi
dan UKM untuk bersaing dalam era pasar bebas adalah kualitas sumber daya
manusia (SDM) pelaku KUKM yang secara umum masih rendah.
"Untuk meningkatkan kualitas pelaku KUKM, kami melaksanakan berbagai
pembinaan dan pelatihan, baik yang bersifat teknis maupun manajerial. Namun,
banyaknya tenaga kerja yang tidak terampil tentu berdampak pada kualitas produk
yang dihasilkan," kata dia.
Oleh karena itu, lanjut Syarief, pihaknya melakukan pembinaan dan pemberdayaan
KUKM yang diarahkan pada peningkatan kualitas dan standar produk, agar mampu
meningkatkan kinerja KUKM untuk menghasilkan produk-produk yang berdaya saing
tinggi.
"Sektor Koperasi dan UKM yang paling penting untuk dikembangkan dalam
menghadapi MEA 2015 itu yang terkait dengan industri kreatif dan
inovatif, handicraft, home industry, dan teknologi informasi," jelasnya.
Ia menambahkan, pihaknya juga berupaya meningkatkan akses dan transfer
teknologi untuk mengembangkan pelaku UKM inovatif sehingga nantinya mampu bersaing
dengan pelaku UKM asing.
Peningkatan daya saing dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi
(TIK), menurut dia, diperlukan para pelaku UKM di Indonesia untuk menghadapi
persaingan usaha yang makin ketat, khususnya dalam menghadapi MEA.
"Para pelaku UKM harus memanfaatkan teknologi seluas-luasnya untuk
mengembangkan usahanya sehingga mereka bisa cepat maju dan siap bersaing secara
global," ujarnya.
Ia menyatakan, sejauh ini dengan meningkatnya pemanfaatan TIK dalam kegiatan
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di dalam negeri yang didorong melalui
kerja sama pemerintah dengan pihak swasta, daya saing UKM Indonesia pun makin
meningkat.
Hal itu, kata dia, terbukti dari data terbaru yang dikeluarkan oleh "World
Economic Forum" bahwa peringkat daya saing UKM Indonesia naik dari nomor
52 menjadi nomor 38.
"Indeks daya saing kita (di antara negara ASEAN) itu 4,1 sama dengan
Thailand. Kita hanya kalah dari Singapura dan Malaysia," ungkapnya.
Namun, ia meyakini dalam waktu dua tahun daya saing KUKM di Tanah Air dapat
sejajar dan bahkan mengungguli Singapura dan Malaysia.
Sementara itu, dari pihak Kementerian Perindustrian juga tengah melaksanakan
pembinaan dan pemberdayaan terhadap sektor industri kecil menengah (IKM) yang
merupakan bagian dari sektor UMKM.
"UMKM bidang industri memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi
nasional. Pembinaan ini diarahkan agar IKM berdaya saing global," kata
Menteri Perindustrian MS Hidayat.
Ia mengatakan penguatan IKM berperan penting dalam upaya pengentasan kemiskinan
melalui perluasan kesempatan kerja dan menghasilkan barang atau jasa untuk
dieskpor.
Kedua menteri tersebut pun menyatakan upaya-upaya strategis dalam menghadapi
MEA 2015 akan terus dilakukan. Selain itu, koordinasi dan konsolidasi antar
lembaga dan kementerian pun terus ditingkatkan sehingga faktor penghambat dapat
dieliminir.
"Maka Koperasi dan UKM dalam negeri harus meningkatkan kualitas dan
kinerja untuk menyambut MEA 2015. Kita harus bisa menjadi 'market leader',
terutama di pasar sendiri. Saatnya kita maju dan mandiri dalam menghadapi pasar
bebas," ucap Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sampai
sejauh ini perdagangan Indonesia dengan negara-negara anggota Asean masih
menunjukkan kinerja yang positif (surplus perdagangan). Pada 2010 neraca
perdagangan Indonesia ke Asean surplus US$ 3,6 miliar, dengan rincian ekspor
sebesar US$ 25,6 miliar dan impor US$ 22,0 miliar (BPS, 2011). Kinerja
perdagangan ini sendiri terus menunjukkan tren yang membaik dari tahun ke tahun
mengingat pada 2005 dan 2006 Indonesia masih mencatat perdagangan defisit ke
Asean. Pada 2007 dan 2008 perdagangan surplus, tapi masih di bawah US$ 900
juta. Baru pada 2009 dan 2010 perdagangan meraih hasil meyakinkan (2009 sebesar
US$ 2,9 miliar). Dengan kalkulasi seperti itu, peluang Indonesia untuk
mengembangkan ekspor masih terbuka lebar asalkan masalah-masalah yang telah
dikemukakan di atas dapat dipecahkan secara cepat. Agenda lebih rinci mesti
dibuat dan dijalankan secara konsisten.Daya saing UKM Indonesia pun makin
meningkat terbukti dari data terbru yang di keluarkan oleh “WORLD ECONOMIC
FORUM” bahwa peringkat daya saing UKM Indonesia naik dari nomor 52 menjadi
38.Indeks daya saing kita (di antara negara ASEAN) itu 4,1 sama dengan
Thailand.Kita hanya kalah dari Malaysia dan Singapura. Namun dalam waktu 2
tahun daya saing KUKM di tanah air ini dapat sejajar dan bahkan mengungguli
singapura dan malaysia. Upaya-upaya strategis pun juga telah disiapkan oleh
para menteri koperasi dan UKM dalam menghadapi MEA 2015 kita harus bisa menjadi
market leader, terutama dipasar sendiri. Saatnya kita maju dan mandiri dalam
menghadapi pasar bebas.
Sumber Kritikan : http://manajemenppm.wordpress.com/2013/11/15/menghadapi-masyarakat-ekonomi-asean-mea-2015/